Hukum Thermodinamika II menegaskan bahwa “energi itu tidak pernah habis hanya berubah bentuk.” Alam menyediakan sumber energi yang demikian banyak, baik energi berbentuk bahan bakar, bahan makanan, termasuk pupuk sebagai bahan makanan tanaman. Salah satu sumber pupuk untuk tanaman kopi berasal dari limbah cangkang kopi (endocarp) itu sendiri.
Para petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang jumlahnya mencapai 62.100 kepala keluarga sudah banyak yang meninggalkan pupuk an-organik. Kini, mereka beralih menggunakan pupuk organik yang berasal dari limbah cangkang biji kopi.
Walaupun mereka menggunakan pupuk organik untuk meningkatkan produksi dan kesuburan tanaman kopinya, namun mereka tidak termasuk dalam kelompok petani organik. Sebab, mereka yang tergolong dalam kelompok tani organik jika kelompok itu dibina oleh lembaga penerbit sertifikat organik. Untuk masuk dalam kelompok itu tentu harus membayar biaya inspeksi dan lain-lain.
Bagi Ponirin (50) yang biasa dipanggil Pon, meskipun dia tidak termasuk dalam kelompok tani organik, dia tetap membudidayakan tanamannya secara organik. Petani yang memiliki sehektar kebun kopi di kawasan Desa Simpang Teritit Bener Meriah itu selalu menggunakan limbah cangkang biji kopi sebagai sumber pupuk organiknya.
Hebatnya, meskipun Ponirin tidak bisa baca tulis, tetapi dia mampu mengelola uang hasil penjualan kopi kelompok taninya sampai milyaran rupiah. Pada akhirnya, mereka mampu membangun lantai jemur dan huller milik kelompok yang terletak disamping rumah Ponirin.
Lantai jemur dan huller (mesin pemecah cangkang kopi) itu, setiap harinya menghasilkan puluhan kilogram cangkang kopi. Limbah cangkang kopi itu dibiarkan menggunung sampai mencapai atap rumah. Biasanya, limbah cangkang kopi itu dibakar oleh Ponirin. Namun, setelah mereka mengetahui bahwa kulit cangkang itu dapat digunakan sebagai pupuk organik, maka para petani yang merupakan anggota kelompoknya mengambil secara cuma-cuma limbah cangkang kopi itu.
Dapat dilihat kebun kopi para petani disekitar rumah Ponirin yang permukaan tanahnya diserak dengan limbah cangkang kopi. Ini berarti, makanan tanaman kopi disuplai dari cangkang kopi. Terbukti memang, tanaman kopi yang dipupuk dengan limbah cangkang kopi itu terlihat subur-subur dan memiliki buah yang penuh diantara dahan-dahan yang ada. Karena makin banyak yang mengambil limbah cangkang kopi untuk memupuk tanaman kopi mereka, sehingga Ponirin tidak perlu lagi membakarnya.
Sebenarnya, selain sebagai pupuk organik, limbah kulit kopi itu dapat digunakan sebagai pakan ternak. Hasil analisa laboratorium ilmu makanan ternak Departemen Peternakan FP USU (2010) menemukan bahwa kandungan gizi dalam kulit kopi meliputi (tanpa diamonisasi): bahan kering 90,52%; lemak kasar 1,31%; serat kasar 34,11%; protein kasar 6,27%; abu 7,54%; kadar air 9,48%.
Ketika hal itu kompasianer ungkapkan kepada Ponirin, dia kelihatan bersemangat dan ingin segera memanfaatkan limbah cangkang kopi itu sebagai pakan ternaknya. Tetapi, kemudian dia jadi bingung, bagaimana cara mengolahnya. Kompasianer juga bingung, bagaimana harus menjelaskan kepada Ponirin tentang cara mengolahnya karena bukan ahli dibidang itu.
Pastinya, penulis berjanji akan mencarinya di internet. Kalau nanti sudah ketemu metode pengolahan limbah cangkang kopi menjadi pakan ternak, akan penulis sampaikan kepada Ponirin. Dengan demikian, tidak semua limbah cangkang kopi harus dijadikan pupuk, sebagiannya dapat menjadi pakan ternak. Kotoran ternak yang nantinya dijadikan pupuk organik, sehingga petani dapat memperoleh tambahan penghasilan dari ternak.
Bagi Ponirin, dia sudah cukup puas jika limbah cangkang kopi dapat dijadikan pupuk organik, sehingga bisa menghemat biaya pembelian pupuk an-organik. Tetapi dia lebih puas lagi jika limbah cangkang kopi dapat diolah menjadi pakan ternak. “Petani akan dapat dua keuntungan.” kata Ponirin.
sumber: kompasiana.com