Pernikahan terlarang dalam Batak Toba


Perkawinan terlarang atau dalam istilah adat Batak Toba disebut “marsumbang” dikenakan hukuman dibakar hidup-hidup. Pernikahan orang Batak Toba adalah eksogami, artinya tidak diperkenankan mengambil isteri maupun suami dari kelompok marga sendiri.

Di beberapa daerah timbul kesulitan karena tidak banyak kampung yang mempunyai anak gadis (boru) yang siap untuk dikawinkan. Sebaliknya di daerah lingkup kampung induk terdapat banyak gadis, yang menurut adat-istiadat, terlarang untuk dinikahi meskipun hubungan keluarga sudah jauh.

Hambatan yang dihadapi para pemuda untuk melamar gadis tersebut karena takut akan murka roh leluhur. Meskipun demikian terjadi juga pelanggaran adat, berupa pernikahan antarkelompok semarga, atau disebut marsumbang.


Menurut patik dohot uhum (peraturan dan hukum orang Batak) yang berlaku pada zaman dahulu, seseorang yang kawin dengan puteri atau putera semarganya, hukumannya adalah dibakar hidup-hidup atau ditenggelamkan ke dalam air (situtungon tu api, sinongnongon tu aek).

Di beberapa daerah hukuman tidak sama. Ada yang lebih ringan, misalnya hanya dikeluarkan dari masyarakat marga dan tidak diterima pengaduannya. Perkawinan seperti itu dinyatakan batal atau mereka dikucilkan dari lingkungan, disebut “dipaduru di ruar ni patik”.

Selain itu terdapat juga larangan karena aturan adat, seorang pemuda dilarang mengawini puteri dari adik atau kakak perempuan bapaknya (namboru), karena hubungan antara keduanya dianggap sebagai “saudara kandung”. Demikian juga dianggap sumbang bila terjadi pernikahan antara dua lelaki bersaudara dengan dua perempuan bersaudara, disebut “dua pungga sada ihotan”.

Pasangan yang secara diam-diam menjadi suami-isteri atau berkencan secara gelap (marpadan-padan) disebut “marlangka pilit” (melangkah sesat). Setelah hubungan itu diketahui umum, maka mereka harus segera melangsungkan perkawinan resmi.

Hidup bersama sebagai suami-isteri (marbagas roha-roha) secara terbuka, hampir tidak pernah terjadi pada orang muda.
Mertua lelaki tidak boleh berdua dengan menantu perempuan

Untuk mencegah terjadinya hubungan gelap antara anggota keluarga, diatur etika yang terdapat dalam “patik dohot uhum”. Khusus mengenai pergaulan antara sanak-keluarga yang sudah berumah tangga, terdapat sejumlah larangan, antara lain:

» Dilarang keras bertutur sapa antara mertua laki-laki (simatua) dan menantu perempuan (parumaen). Mereka tidak diperkenankan bersama-sama tanpa kehadiran orang ketiga. Bahkan percakapan antara mereka harus melalui perantara, tidak boleh secara langsung. Mereka pun dilarang saling merawat di kala sakit, tidak boleh menyebut nama, dan dilarang bersentuhan.

» Larangan seperti di atas juga berlaku antara mertua perempuan (simatua boru) dengan menantu laki-laki (hela).

Artikel ini dikutip dari buku berjudul Batak Toba karya DR. Ir. Bisuk Siahaan.


Artikel Yang Disukai :



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...