Bioskop pertama di dunia

Bioskop pertama di dunia dibuka di Paris, ibukota Prancis, pada 28 Desember 1895. Pada waktu Indonesia masih bernama Hindia Belanda, pada 5 Desember 1900, diputar gambar idoep pertama di Batavia -- kini Jakarta -- yang diadakan oleh penjajah Belanda.


Saya sengaja menyebut bioskop dengan istilah gambar idoep. Soalnya, sampai 1950-an orang Betawi menyebut bioskop dengan gambar idoep. Dinamakan demikian, karena gambarnya bisabergerak-gerak. Bioskop pertama di Jakarta terletak di Tanah Abang, Jakarta. Karena pergaulan yang belum bebas kala itu, tempat duduk laki-laki dan perempuan di pisah. Hingga bila pertunjukan usai, penonton saling berteriak memanggil pasangannya.

Pada tahun 1926, Indonesia sudah memproduksi film pertama. Judulnya Loetoeng Kasaroeng, sebuah legenda Jawa Barat. Film ini diproduksi oleh Java Film Co, milik seorang Belanda (L Heuveldrop). Ikut membintanginya, putra-putra Wiranatakusumah (bupati Bandung). Film Indonesia pertama ini diputar selama satu minggu di Bandung, dari 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Lutung Kasarungjuga diproduksi pada 1952 dan 1983.

Masih di masa kolonial, pada 1937 diproduksi film Terang Boelan, kisah romantis di pulau 'impian'. Film ini melahirkan pasangan romantis pertama, Roekiah (1917-1945) dan Rd Mochtar, yang amat laris pada 1938. Roekiah, bintang paling tenar pada 1940-an adalah ibu almarhum penyanyi dan aktor Rachmat Kartolo. Seperti dituturkan pakar perfilman dan staf Sinematek Indonesia, SM Ardan, setelah proklamasi kemerdekaan, banyak seniman yang hijrah ke kota perjuangan Yogyakarta, mengikuti jejak Bung Karno dan Bung Hatta. Termasuk, Usmar Ismail (1921-1971) dan kawan-kawannya -- D Djajakusuma (1918-1987), Soerjosoemanto (1918-1971), Hamidy T Djamil (1919-1986), serta sejumlah aktor dan artis lainnya. Mereka adalah anggota rombongan sandiwara Seniman Merdeka yang melakukan pentas keliling dalam mengobarkan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan.


Pada Desember 1949 pendudukan Belanda berakhir. Jakarta kembali jadi Ibukota RI. Sampai waktu itu belum satupun perusahaan film milik nasional yang muncul. Hampir seluruhnya produksi perusahaan film milik Belanda dan Cina. Usmar Ismail, seniman yang sejak muda berkecimpung di bidang seni teater, pada usia 29 tahun mendirikan Perfini, perusahaan film berlambang banteng. Syuting pertama produksi pertama Perfini, Darah dan Doa, sebuah film

perjuangan, dilakukan pada 30 Maret 1950. Hari itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, yang kini sudah berlangtsung 56 tahun. Hari Film Nasional itu tidak pernah diakui oleh kelompok kiri/Lekra. Usmar, kelahiran Bukittinggi, 20 Maret 1921, pada tahun 1950-an memang telah menghasilkan film-film box-office. Bahkan, ia salah satu tokoh yang berhasil memasukkan film-film nasional di kelas satu, seperti Metgropole (Megaria), Menteng dan Garden Hall (keduanya sudah jadi pertokoan). Usmar menjadi sutradara, penulis dan produser, dengan film-filmnya, seperti Krisis (1953) diputar selama lima minggu di bioskop Metropole. Kemudian disusul dengan Tiga Dara, yang tidak kalah sukses.

Hampir bersamaan dengan Perfini, seorang tokoh perfilman mendirikan perusahaan film Persari (Persatuan Artis Indonesia) yang kini dilanjutkan oleh putrinya, Camelia Malik. Sebagai pengusaha yang lihay, Djamaluddin Malik lebih berjaya katimbang rekannya, Usmar. Tahun 1952, Persari sudah memiliki studio terbesar di Asia Tenggara, dan sudah melakukan produksi bersama dengan Filipina, film berjudul Rodrigo de Villa dan Leilana.

Bersama Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dikenal sebagai dwitunggal perfilman nasional. Dari kedua orang inilah lahir gagasan besar untuk bidang perfilman. Sayang sekali Djamal pada 1957 menjadi tahanan politik sampai 1959. Dia ikut dalam Liga Demokrasi yang menentang upaya Presiden Soekarno untuk membubarkan DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955.

Selepas dari tahanan, Djamal terjun ke Partai NU. Bahkan menduduki salah seorang Ketua PB-NU. Masuknya Djamal menjadi tokoh penting di NU sebagai kekuatan agama dari poros Nasakom, tidak melenyapkan sentimen pihak kiri PKI dengan Lekra-nya untuk menyerang tokoh perfilman nasional ini. Dan, serangan kelompok kiri secara bertubi-tubi ditujukan kepada Usmar, tanpa memperdulikan prestasinya di dunia internasional. Filmnya, Pejoang (1960) berhasil meraih penghargaan dari Festrival Film Internasional Moskow (1961) untuk peran utama (Bambang Hermanto). Bambang Hermanto, sekembalinya, dari Moskow dielu-elukan ribuan kelompok kiri yang menyambutnya di Bandara Kemayoran.

Sementara, sang produser dan sutradaranya, Usman Ismail, justru tambah dikecam. Dengan begitu Usmar semakin dekat dengan Djamal, yang tokoh NU. Ketika serangan menjadi tambah berbahaya, ia bersama Asrul Sani membidani lahirnya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh NU. Dan, ketika PKI dan golongan kiri membentuk Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis AS (Papfias) mereka tidak mengakui 30 Juni 1950 sebagai Hari Film Nasional. Tapi menuntut 30 April 1964 sebagai Hari Film Nasional, saat berdirinya Papfias.

Film pertamakali diperkenalkan kepada khalayak Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu) pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa ini film disebut sebagai "Gambar Idoep". Hal ini termaktub dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900): "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."

Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya.Selain melakukan promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat yang terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP) dan Kelas III (kemudian disebut kelas "kambing" yang identik dengan pribumi). Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Namun film yang sebenar-benarnya dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, dengan dukungan Wiranatakusumah V (Bupati Bandung pada masa itu. Pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop


Artikel Yang Disukai :



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...