Dua pekerja membungkus lontong pesanan untuk perayaan Capgomeh di kampung Tirtoyoso, Semarang, (27/2).Menjelang Capgomeh pesanan meningkat menjadi 4 ribu lontong, dari biasanya sekitar 400 lontong per hari. TEMPO/ Budi Purwanto
TEMPO.CO , Surabaya: Subuh masih jauh dari menjelang Minggu, 21 Oktober 2012 ketika sejumlah warga di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya sudah bersiap menyongsong pagi.
Sejumlah keranjang penuh lontong sudah tertata rapi di depan rumah di salah satu gang kecil di pinggiran sungai pemukiman padat penduduk itu. Asap tipis hangat ditingkahi wangi harum daun pisang pembungkus lontong berbaur dengan kesibukan kecil sehari-hari warga di kampung itu. Menjelang subuh, becak sudah terlihat keluar masuk dari dan menuju gang itu untuk mengangkuti ratusan keranjang lontong dan membawanya ke sejumlah pasar di Surabaya. Beginilah pemandangan yang setiap hari berlaku di Kampung Lontong sejak beberapa tahun yang lalu.
Disebut sebagai Kampung Lontong, karena mayoritas warga kampung ini aktivitas sehari-harinya membuat lontong. 10 ton sampai 15 ton beras ''mekar'' tuntas setiap minggunya untuk lontong. Gas dari ratusan tabung ukuran 3 kilogram setiap harinya juga ikut tandas untuk mendidihkan air dalam panci besar hingga lontong siap untuk dientas.
Begitu pula ratusan bal daun pisang didatangkan dari luar Surabaya dan habis untuk membungkus lontong yang dibuat oleh 98 anggota ''Paguyuban Pengusaha Lontong Mandiri'' di kampung ini. Produk lontong mereka beredar di pasar-pasar tradisional di Surabaya mulai dari Pasar tembok, Pasar Pakis, Pasar Banyu Urip, Pasar Keputran hingga pasar-pasar lainnya.
Sejak sekitar tahun 2000 hingga tahun ini, tak henti-hentinya para pembuat lontong ini memenuhi kebutuhan pasar yang tak pernah mengenal kompromi. Ari Siswanto, salah satu pembuat lontong mengatakan, selama kuliner utama Surabaya, seperti, Rujak Cingur, Lontong Balap hingga kuliner lainnya yang memasukkan unsur lontong di dalamnya masih ada, maka geliat industri di Kampung Lontong akan terus berjalan walaupun sejumlah masalah tetap menghadang.
"Selama rujak dan lontong balap masih dijual, maka lontong masih tetap dibuat di Kampung Lontong," kata bapak dua anak ini kepada Tempo. Ari sudah 12 tahun manjadi pembuat sekaligus pedagang lontong di Pasar Keputran ini.
Setiap harinya, Ari membuat 1.500 lontong dengan menghabiskan 70 kilogram beras, 3 bal daun pisang atau sekitar 200 helai daun pisang, serta 3 hingga 4 tabung gas ukuran 3 kilogram.
Menurut Ari, modal untuk membuat lontong sebenarnya tidak terlalu besar. "Butuh tenaga ekstra dalam aktifitas pembuatan lontong ini," katanya. Mulai dari membuat slontongan hingga memasak yang membutuhkan waktu sampai 10 jam. Setiap harinya dia tidur hanya 4 hingga 5 jam saja.
Lontong kini menjadi ikon usaha mandiri di kampung ini. Tidak hanya mengalir kepada pembuat atau pedagang lontong saja, rejeki dari lontong ini juga terciprat ke mana-mana, terutama bagi warga yang mau bekerja.
DAVID PRIYASIDHARTA