Obat Modern vs Obat Herbal |
Kebanyakan penduduk dunia akan menyebutkan kata-kata tidak ilmiah, belum terbukti, tidak efektif, mungkin berbahaya, primitif, dan banyak kata-kata lain yang bernada miris ketika mereka berpikir tentang obat-obat herbal.
Setelah 30 tahun meneliti dan mengobati jutaan orang dengan obat-obat herbal, Dr. John R. Christopher akhirnya menyatakan bahwa ada keyakinan umum yang dapat diterima tentang obat herbal.
Kesalahan persepsi yang diadopsi oleh masyarakat dunia selama ini adalah menggunakan obat herbal berarti sama dengan menggunakan bentuk paling primitif dari dunia kodekteran.
Faktanya, 75% hormon yang digunakan dalam obat-obat modern berasal sepenuhnya dari tumbuhan. Ada ketidaksetaraan ketika obat-obat modern yang berasal dari tumbuhan diagung-agungkan sedangkan obat herbal dikatakan obat primitif dan terbelakang.
Sebagai contoh, Digitalis yang dikenal sebagai obat masa kini untuk menstimulasi jantung ternyata berasal dari tumbuhan foxglove. Sedangkan obat anti-pembekuan yang efektif bernama coumarol didapat dari tumbuhan Semanggi Manis.
Di India, snakeroot telah digunakan selama ribuan tahun untuk menenangkan orang. Kini snakeroot dipakai sebagai bahan utama reserpin, obat penenang paling populer saat ini.
Dan tahukah Anda, obat anti-malaria berasal dari kulit batang pohon Kina yang berasal dari Amerika Selatan dan telah tumbuh di Cibodas, Jawa Barat, dan Sumatera Barat?
Ya, ada banyak tanaman yang diambil bagiannya untuk meramu obat modern, jadi label primitif dan terbelakang tentu tidak cocok untuk obat-obat herbal.
Memang, harus diakui bahwa meski berasal dari tumbuhan alami, tak dapat disangkal bahwa beberapa tumbuhan memiliki efek beracun. Namun, di tangan herbalis berpengalaman obat herbal bisa sangat membantu untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki misi untuk mengintegrasikan obat herbal dalam pengobatan primer di negara-negara anggota WHO. Saat ini, sekitar 80% masyarakat dunia masih bergantung pada pengobatan tradisional termasuk didalamnya obat herbal.
Seiring berjalannya waktu, penduduk dunia akhirnya terbuka pikirannya untuk mengakui bahwa obat herbal dapat menjadi aset di masa depan. Meski penelitian yang menunjang obat herbal masih amat sedikit keberadaanya, penelitian tersebut didorong pelaksanaannya bahkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di Indonesia sendiri banyak peneliti dari LIPI dan universitas ternama seperti ITB serta universitas di negara lain seperti The University National of Hochiminch City yang telah melakukan penelitian terhadap tanaman yang berpotensi menjadi obat terhadap penyakit ringan maupun berat
Dan tahukah Anda, obat anti-malaria berasal dari kulit batang pohon Kina yang berasal dari Amerika Selatan dan telah tumbuh di Cibodas, Jawa Barat, dan Sumatera Barat?
Ya, ada banyak tanaman yang diambil bagiannya untuk meramu obat modern, jadi label primitif dan terbelakang tentu tidak cocok untuk obat-obat herbal.
Memang, harus diakui bahwa meski berasal dari tumbuhan alami, tak dapat disangkal bahwa beberapa tumbuhan memiliki efek beracun. Namun, di tangan herbalis berpengalaman obat herbal bisa sangat membantu untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki misi untuk mengintegrasikan obat herbal dalam pengobatan primer di negara-negara anggota WHO. Saat ini, sekitar 80% masyarakat dunia masih bergantung pada pengobatan tradisional termasuk didalamnya obat herbal.
Seiring berjalannya waktu, penduduk dunia akhirnya terbuka pikirannya untuk mengakui bahwa obat herbal dapat menjadi aset di masa depan. Meski penelitian yang menunjang obat herbal masih amat sedikit keberadaanya, penelitian tersebut didorong pelaksanaannya bahkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di Indonesia sendiri banyak peneliti dari LIPI dan universitas ternama seperti ITB serta universitas di negara lain seperti The University National of Hochiminch City yang telah melakukan penelitian terhadap tanaman yang berpotensi menjadi obat terhadap penyakit ringan maupun berat