Apa Yang Terjadi Jika Menstruasi Tak Lagi Datang
Ny
Usi, bukan nama sebenarnya, 65 tahun, masih ingat berbagai perubahan
pada tubuhnya saat usianya 54 tahun. Saat itu, siklus menstruasinya
mulai tidak teratur. ”Awalnya dua bulan tidak mendapat haid, lalu lima
bulan satu kali, dan setelah itu tidak sama sekali,” ujar warga Cibubur
tersebut.
Tubuhnya juga kerap sangat
kedinginan dan sakit kepala terus mendera. Emosi pun mudah naik mudah
turun. ”Saya jadi suka marah tanpa alasan jelas,” ujarnya. Dia
mencurigai dirinya memasuki menopause.
”Saya bertanya kepada teman-teman
dan masing-masing pengalamannya berbeda. Ada yang kepanasan sampai
mukanya menjadi merah seperti kepiting, eh saya malah kedinginan. Karena
jawabannya tidak sama, timbul rasa takut apakah yang saya alami normal
atau penyakit. Seorang kerabat yang juga dokter meyakinkan saya bahwa
gangguan itu bagian dari menopause. Sekitar satu atau dua tahun saya
jalani dan setelah itu semua ketidaknyamanan hilang,” katanya.
Tamu bulanan
Terjadinya menstruasi bergantung
terutama kepada aktivitas hypothalamus dan anterior pituitary di otak
serta kegiatan ovarium. Hypothalamus memproduksi gonadotropin—releasing
hormone (GNRH) yang menstimulasi anterior pituitary untuk melepaskan
Follicle stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing hormone (LH). FSH
memicu pertumbuhan folikel di dalam ovarium. Seiring pertumbuhan
tersebut, estrogen diproduksi. Satu folikel kemudian tumbuh dominan.
Folikel yang tumbuh itu
meningkatkan produksi estrogen dan menyebabkan proliferasi endometri dan
sel payudara. Hal ini diikuti pelepasan sel telur yang matang dari
folikel. Progesteron berfungsi menyiapkan endometrium untuk tempat
penanaman embrio. Jika tidak terjadi pembuahan oleh sperma, endometrium
luruh seiring menurunnya level estrogen dan progesteron. Proses
menstruasi berikutnya dimulai lagi.
Prof Dr Med Ali Baziad, SpOG (K)
dari Departemen Obstetry dan Gynecology FKUI RSCM, mengatakan, menopause
diartikan sebagai terakhir kali seorang perempuan mengalami menstruasi.
Menopause merupakan proses alami. ”Biasanya terjadi sekitar umur 50,
tetapi dapat terjadi umur 45 hingga 55. Seseorang memasuki masa
pascamenopause ketika tidak mengalami menstruasi selama 12 bulan
berturut-turut,” ujarnya dalam acara ”Siap Menghadapi Menopause:
Penanganan Tepat Mengatasi Gejala Menopause”.
Berkurangnya hormon estrogen saat
menopause menyebabkan berbagai masalah, seperti gejolak panas, sukar
tidur, jantung berdebar, pusing, libido menurun, vagina kering, dan tak
bisa menahan buang air kecil.
Gangguan jangka panjang, antara
lain, osteoporosis (sampai patah tulang). Med Ali Baziad mengatakan,
kepadatan tulang turun sebanyak 3 persen setelah 12 bulan tidak
menstruasi. Penurunan estrogen berperan dalam peningkatan risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah. Tekanan darah meningkat lebih
drastis pada perempuan berumur di atas 60 tahun ketimbang pada pria.
Tingginya tekanan darah terus-menerus merupakan faktor risiko penyakit
jantung koroner.
Tidak terkait
Menopause dini dapat terjadi kapan
saja dan menurut Med Ali Baziad tak terkait dengan menstruasi pertama.
Med Ali Baziad menduga, kasus menopause dini antara 35 tahun dan 38
tahun tak lepas dari penggunaan obat pelangsing secara serampangan dan
terlalu banyak.
”Perempuan yang kelebihan berat
badan ingin menurunkan berat badan secara cepat. Mereka mengonsumsi
berbagai obat pelangsing sekaligus, bisa hingga 4-5 macam,” ujarnya.
Konsumsi berbagai jenis obat
tersebut diduga menghambat produksi estrogen atau merusak ovarium.
Faktor lainnya ialah gaya hidup yang berubah, misalnya pola makan dan
aktivitas. ”Belum ada penelitian epidemologi soal itu,” katanya.
Sebaliknya, lambat menopause,
misalnya sampai di atas usia 55 tahun, juga berbahaya. ”Masih banyak
folikel dalam ovarium sehingga tubuh dipicu hormon. Kondisi ini berisiko
menimbulkan kanker,” ujarnya.
Perubahan ke arah gaya hidup sehat
membantu perempuan tetap hidup berkualitas dengan pengontrolan berat
badan, meningkatkan latihan fisik, penghentian konsumsi rokok, dan
mengurangi konsumsi alkohol. Gaya hidup sehat dimulai sedini mungkin.
Sejumlah jenis makanan, seperti pepaya, bengkuang, kedelai, kacang
merah, dan wortel juga tinggi kandungan fitoestrogen dapat ditambahkan
dalam makanan sehari-hari.
Terapi hormon
Tantangan dalam penanganan
menopause ialah mengatasi rendahnya estrogen. Salah satu upaya ialah
dengan terapi hormon mengandung estrogen atau kombinasi estrogen dan
progestogen guna menggantikan progesteron alami. Terdapat berbagai jenis
estrogen yang digunakan dalam terapi, sebagian merupakan estrogen alami
(estradiol, estrone, dan estriol).
Untuk yang tak lagi mempunyai rahim
diberikan estrogen. Sedangkan bagi yang masih mempunyai rahim diberikan
estrogen dan progestogen sebagai pengganti progesteron. Dalam jangka
panjang, terapi estrogen saja tidak sesuai untuk perempuan yang masih
memiliki rahim karena meningkatkan risiko penebalan dinding endometrium
dan kanker endometrium.
Terapi hormon berfungsi
menggantikan hormon estrogen yang hilang saat menopause sehingga
gejala-gejala sementara, seperti gejolak panas, sukar tidur, jantung
berdebar, dan tidak bisa menahan air kencing, bisa diatasi. Dapat pula
menghambat osteoporosis sebagai akibat jangka panjang menopause. Ada
pula hormon berbentuk krim untuk mengatasi kekeringan vagina—biasanya
digunakan selama satu bulan sebelum kemudian berhubungan intim.
Tetap ada risiko
Namun, terapi hormon masih
menyisakan kontroversi. Studi Women’s Health Initiative selama 15 tahun
mengindikasikan, terapi hormon meningkatkan risiko serangan jantung,
penggumpalan darah, stroke, dan kanker payudara. Studi itu sendiri
dianggap mengandung sejumlah masalah, antara lain rata-rata peserta
studi berumur 63 tahun—tidak mewakili perempuan lebih muda (50-59
tahun).
Med Ali Baziat mengakui tetap ada
risiko kanker, terutama kanker payudara, tetapi dia meyakini kasusnya
tidak tinggi. Perempuan yang mendapat terapi hormon biasanya disarankan
menjalani tes kesehatan payudara. Terapi itu manfaatnya lebih besar pada
mereka yang tahap menopause awalnya di bawah umur 60 tahun. Di atas
usia itu, risiko kardiovaskuler dan kanker payudara bertambah.
Dalam bukunya, Women and Aging,
Linda R Gannon menuliskan bahwa pengalaman menopause setiap perempuan
berbeda karena keragaman usia, status hormon, penyakit kronis, gaya
hidup, dan kondisi psikologis. Dengan demikian, sulit menjawab bahwa
terapi hormon sebagai satu-satunya jawaban atau ”zat ajaib” bagi semua
perempuan untuk mengatasi masalah menopause.
Menurut Linda, yang saat menulis
buku itu sebagai profesor di Departemen Psikologis di School of Medicine
Southern, Illinois University, berbagai risiko terapi hormon harus
sepenuhnya diinformasikan dan dipahami perempuan. Saat menimbang antara
risiko dan manfaat penggunaan hormon estrogen itu, pada akhirnya
perempuan itu sendiri yang memahami kebutuhan tubuhnya.
Ny Usi memilih tidak menggunakan
terapi itu sekalipun tahu. Dia meyakini menopause sebagai bagian dari
perkembangan alami dalam tubuh perempuan dan kesehatannya tetap baik.
”Saya tidak merasa ada gangguan yang berat dan secara umum tubuh saya
sehat untuk perempuan seusia saya, jadi merasa tidak butuh terapi
hormon,” ujar perempuan yang baru saja mendapat gelar sarjana di bidang
teologi dan kini amat aktif tersebut.